Sudah Saatnya

Pebryanti Melia
9 min readMay 5, 2021

--

Namaku Salma Aprilia Putri, panggil aku Salma. Aku adalah anak tunggal dari keluarga kecil ini. Aku, mama, dan papa pindah tempat tinggal dari kota Bandung ke kota Malang, sehingga mengharuskanku untuk pindah juga dalam melanjutkan studi. Sejujurnya aku belum siap dengan hal- hal baru yang ada di lingkungan baruku nanti, tapi sedini mungkin aku akan menyesuaikan dengan lingkup baruku.

Hari itu pun tiba.

“Salma, ayo bangun, nanti terlambat loh”, ucap Mama seraya membangunkanku.

“Iya ma, Salma udah bangun kok”, jawabku dengan masih mata terpejam.

Seusai Mama membangunkanku, aku segera mandi dan bersiap-siap. Tepat pada pukul 06.15, aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah baru, tentu saja kali ini kedua orang tuaku ikut mengantarkanku. Setelah menempuh sekitar 7 menit perjalanan, aku telah sampai di sekolah baruku.

Pukul 07.00, bel berbunyi menandakan kelas pertama akan dimulai. Aku berjalan beriringan bersama guru matematika menuju kelas baruku. Jantungku berdegub kencang, seolah aku belum siap menjadi siswa baru disini. Setelah aku memasuki ruang kelas, aku dipersilahkan memperkenalkan diri oleh guru matematika tersebut didepan siswa kelas baruku. Kelas 11 IPA 2, ya itu kelas baruku. “Halo semua, perkenalkan nama saya Salma Aprilia Putri, saya murid baru di sekolah ini”, sapaku dengan tersipu malu. Sungguh aku sangat malu saat itu karena semua mata tertuju padaku.

Setelah memperkenalkan diri, aku segera mencari tempat duduk dan kebetulan ada bangku kosong di pojok kanan, tak lama setelah aku duduk dan menaruh tasku di kursi, tiba-tiba seseorang menyapaku dengan wajah cerianya “Hai Salma! aku Intan. Salam kenal ya!”, ucap seorang murid perempuan yang duduk di depanku, “Hai! iya salam kenal juga intan”, jawabku seraya memberikan senyuman manis.

Teng… teng… teng, bel berbunyi tanda istirahat telah tiba. Tak lama kemudian, 2 perempuan datang menghampiriku.

“Hai… Salma, ini aku Intan yang duduk di depan bangku kamu”, sapanya “Oh iya, kenalin ini sahabatku sejak SMP, namanya Fayla”

“Hai Fayla, aku Salma”, ucapku sembari mengulurkan tangan.

“Hai juga Salma”, balasnya tersipu malu

“Eh ke kantin bareng yuk!”, ajak Intan memecah kecanggunganku.

“Boleh, ayuk!”, jawabku mengiyakan ajakan intan

Hari demi hari aku menjalani kehidupan dengan bahagia, hingga tak terasa hari ini genap dua minggu semenjak aku menapakkan kakiku di sekolah ini, waktu sangat cepat berlalu. Aku tidak menduga akan secepat ini nyaman dan berbaur dengan lingkungan baru. Bahkan, aku sudah mendapatkan teman dekat. Ya, mereka adalah Intan dan Fayla.

Pagi ini cuacanya cukup cerah, diawali dengan upacara rutin tiap hari senin. Namun, entah mengapa aku merasa ada seseorang yang terus memperhatikanku dari arah barisan laki-laki di depan. “Itu mata bisa biasa aja gak sih?”, gumamku sembari memberikan tatapan bengis kepada sosok laki-laki dengan baju kusut dan gayanya yang badung.

Upacara pun selesai, semua murid berjalan menuju kelas masing-masing menuju koridor. Namun, tiba-tiba muncul suara yang cukup mengejutkanku “Salma”, serunya terhadapku “Eh kamu anak baru itu kan, soalnya aku baru lihat kamu nih.. cuman tau nama kamu aja sih”, aku hanya diam dan tak menggubrisnya, bagiku hal itu tidak terlalu penting untuk aku tanggapi. “Eh jangan galak-galak dong, masa cantik-cantik gini galak”, ucap laki-laki itu. Aku pun tetap tak menggubrisnya dan aku tetap memilih melanjutkan langkahku menuju kelas

Setibanya aku di kelas, rasa kesalku tetap tak kunjung hilang. Memang menyebalkan harus bertemu dengan seseorang yang sok akrab dan genit.

“Sal, tadi kamu ngapain ngobrol sama Evan?”, tanya Intan.

“Oh jadi cowok tadi tuh namanya Evan ya? nyebelin banget”, jawabku dengan cetus.

“Hahaha emang dia ngapain, pasti genit ya ke kamu? udah biasa sih dia kaya gitu”, gurau Intan sambil menertawakanku

“Kelihatan sih, aduh tau ah. He ruined my day”, balasku dengan perasaan kesal yang masih terbawa.

Jam istirahat berbunyi, kali ini aku lebih memilih untuk berada di kelas karena aku benar-benar kesal jika harus berhadapan dengan laki-laki seperti Evan tadi. Murid-murid sudah mulai keluar kelas untuk menghabiskan break time, hingga menyisakan seseorang yang masih berdiam diri di bangkunya. Aku baru menyadari bahwa sosok tersebut adalah Angga, ya teman sekelas yang paling rajin, pintar, dan multitalenta. Aku sangat mengagumi sikapnya yang begitu berbeda dengan laki-laki di luar sana.

“Heh, lagi liatin apa kamu, Sal?”, ucap Intan dan Fayla memecah lamunanku.

“Loh, kalian kok udah balik aja?”, tanyaku balik.

“Kita udah disini dari tadi, cuman kamunya aja ngelamun, lihat apa sih? Jangan-jangan kamu lihatin Angga ya?”, tanya Intan seakan menyudutkanku.

“E.. ee.. engga kok”, jawabku dengan terbata-bata.

Aku baru menyadari sepertinya aku memiliki perasaan yang berbeda kepada Angga, di mataku ia adalah sosok yang sempurna dan berbeda dengan laki-laki yang pernah ku temui sebelumnya.

Bel pulang pun berbunyi. Bagiku hari ini terasa cukup lama dan melelahkan, bahkan aku lupa menelfon orang tuaku untuk menjemputku di sekolah. “Yahh.. kayanya hari ini pulang naik angkot aja deh”, batinku dalam hati. Aku segera keluar dari ruang kelas hingga akhirnya menyadari sesuatu. Ya. Tepat sekali. Evan! Tuhan kenapa harus bocah tengil satu ini lagi. Dengus nafas beratku seolah aku baru saja jatuh tertimpa durian terberat di dunia.

“Sal.. Salma..”, panggilnya kepadaku. Tentu saja, aku tetap tak menggubrisnya sama sekali, namun tiba-tiba Evan menarik tanganku, “Apaan sih!!”, senggakku dengan nada tinggi.

Sempat diam dengan raut wajahnya yang masih terkejut karena bentakanku, Evan kemudian memberanikan diri untuk menawarkan kencan yang sudah pasti bukan hal yang bisa aku bayangkan sebelumnya. Sebuah ajakan yang mendadak dan tidak disangka-sangka itu tentu saja tak ku iyakan. Aku menolaknya dengan tegas, meskipun Evan berusaha untuk membujuk rayuku, aku tetap tak menggubrisnya sama sekali dan memilih untuk meninggalkannya.

Kali ini, aku sengaja berangkat lebih awal ke sekolah karena jadwal piket kelas. Langsung saja ku ambil sapu yang ada di ujung kelas dengan harapan akan selesai lebih cepat, mengingat masih banyak sisa tugas yang belum rampung kukerjakan semalam. Tak berselang lama, sapu yang tadi ada di tangan tiba-tiba saja lepas dari genggaman begitu sadar seseorang didepanku menatap dengan heran. Angga! Tanpa basa basi dengan sigap ku ambil sapu yang sudah tergeletak di lantai begitu saja. “Oh iya, kan Angga satu jadwal piket sama aku”, gumamku. Kita hanya berdua saja di kelas ini, entah kemana teman-teman lainnya yang seharusnya piket juga. Waktu pun seakan berjalan begitu lama, aku benar-benar segan untuk mencairkan suasana diantara kita. Namun, tak lama Angga mencoba untuk membuka percakapan denganku. “Ada yang bisa ku bantu, Sal?”, tanyanya dengan senyuman tipis yang membuat jantungku berdegub begitu kencang. “Engga, Ngga. Makasih ya”, balasku dengan tersipu malu. Coba bayangkan, seseorang yang dari jauh saja bisa mampu membuat duniaku runtuh tiba-tiba datang dengan suara merdu dibumbui senyum tipis bak seorang bangsawan menawarkan undangan makan malam nya di istana. Oke, ini mungkin berlebihan. Tapi tak dapat dipungkiri, badanku mulai kaku hanya untuk sekedar mencoba menjawab seonggok pertanyaan sesederhana itu

Tak lama Intan dan Fayla datang ke kelas dengan membawa sebuah kado berwarna merah dengan pita cantik.

“Sal, ini ada titipan kado buat kamu”, ucap Intan sembari memberikan kado itu padaku.

“Hah? siapa yang ngasih kado ini?”, tanyaku dengan kebingungan.

“Dari Evan, Sal. Tadi dia titip kado ke kita pas kita lewat kelasnya. Oiya happy birthday ya Salma”, balas Fayla seraya menjabat tanganku

Aku benar-benar lupa bahwa hari ini adalah hari spesialku, ya aku ulang tahun. Namun, aku masih bertanya-tanya kenapa Evan seniat itu untuk memberikanku kado. Tak lama setelahnya, aku membuka kado dari Evan yang berisikan coklat, lukisan wajahku, dan tak lupa sebuah surat cinta. Lalu, ku baca isi suratnya, sungguh aku tidak menduga bahwa Evan sangat jatuh cinta padaku meskipun kita belum saling mengenal. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkan olehnya. Tak banyak bertanya-tanya, aku pun langsung menghampiri Evan. Kebetulan dia sedang duduk di depan kelasnya.

“Maksud kamu apa sih ngasih kado ke aku? Kenal juga engga”, tanyaku dengan cetus kepada Evan.

“Eh Salma.. Happy birthday yaa, aku kasih kado karena ini hari spesial kamu, cantik”, guraunya dengan genit.

Mendengar jawabannya yang begitu menggelikan, aku langsung meninggalkannya dan kembali menuju ke kelasku.

Keesokan harinya di rumahku, aku mendengar seseorang mengetuk pintu dan memanggil-manggil namaku. Aku pun bergegas membukakan pintu dan kemudian aku sontak terkejut karena Evan tiba-tiba muncul di hadapanku dengan membawa buket bunga yang cukup besar.

“Hah, apaan lagi sih ini?”, tanyaku dengan gusar.

“Ini buat kamu dong, Sal. Diterima yaa”, jawabnya dengan senyum sumringahnya.

“Maksudnya apa sih kamu kasih aku bunga?”

“Jadi gini Sal, mungkin ini terlalu cepat.. tapi aku mau ngungkapin perasaan aku ke kamu, aku sayang kamu, Sal.. Hehehe aneh ya? padahal kita belum kenal-kenal banget”, jelasnya.

Are you serious? yang bener aja deh, apaan sih”, tanyaku balik dengan rasa tak percaya.

Sungguh mencengangkan mengetahui bahwa Evan begitu tergila-gila padaku. Aku tidak menduga ia akan senekat ini. Bahkan, dia memohon-mohon padaku untuk menjadi kekasihnya. Aku jelas menolaknya, bagiku cinta adalah hal yang sakral. Evan terlihat begitu kecewa dan marah, sampai-sampai dia memberiku ancaman yang membuatku bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan nantinya.

Keesokan harinya di sekolah.

Ketika aku baru saja menginjakkan kakiku di gerbang, terlihat kerumunan murid-murid sedang sibuk melerai 2 laki-laki yang berkelahi di lapangan basket. Aku mendekatkan diri untuk melihat apa yang sedang terjadi, sontak aku terkejut ketika menyadari bahwa 2 laki-laki tersebut adalah Evan dan Angga, dengan sigap aku melerai keduanya dan tentu saja dengan sirap hati aku mencerca Evan, karena aku yakin ini semua adalah ulah Evan.

“Apa-apaan sih kamu, Van!!”, geramku.

“Aku gak suka aja kalau Angga rebut kamu dari aku, aku sayang sama kamu, Sal”, alasannya dengan nafas terengah-engah

“Sumpah ya childish banget kamu, Van!”, ucapku seraya meninggalkannya.

Aku menuju ke arah Angga dan membawanya ke UKS bersama teman-teman lainnya. Aku sangat khawatir dengan keadaan Angga yang mendapatkan banyak luka dari pukulan Evan. Muncul keresahan dalam benakku, apakah Angga baik-baik aja. Evan telah membuatku sangat geram atas tindakan kekanak-kanakannya tersebut. Aku menunggu Angga di depan UKS dengan cemas dan berharap semuanya akan baik-baik saja.

“Eh, Ngga. Kamu gapapa?”, tanyaku pada Angga yang baru saja keluar dari UKS

“Salma? Kamu nungguin aku disini dari tadi?”, tanyanya balik.

“Iya, Ngga. Aku mau minta maaf. Pasti ini semua ada kaitannya sama aku”, ujarku dengan rasa bersalah.

“Gak perlu minta maaf, Sal. Eh tapi aku mau nanya deh, emang bener ya kata Evan kalo kamu suka aku?”, tanya Angga yang membuatku terheran-heran.

“Ee..ee.. anu..”, jawabku dengan terbata-bata “Ee.. ii.. iya, Ngga. Aku suka kamu sejak pertama aku lihat kamu”, jelasku kepadanya dengan menunduk malu dan wajahku yang memerah.

“Oh berarti sama dong”, sautnya dengan senyuman.

“Mm..maksudnya, Ngga?”, tanyaku penuh kebingungan

“Hehe, aku juga suka sama kamu, Sal. Kamu mau gak jadi pacar aku?”, tanyanya yang membuatku tak percaya “Haha aneh ya aku tiba-tiba nembak kamu, mana di depan UKS lagi”

Aku benar-benar tak percaya bahwa Angga, seseorang yang selalu ku kagumi dan seseorang penuh teka-teki ini ternyata juga menyukaiku. Saat itu tentu saja aku mengiyakan pertanyaannya untuk menjadi seseorang spesial di hidupnya. “Mimpi apa ya aku semalem”, gumamku dalam hati seolah-olah masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Aku dan Angga berjalan bersama memasuki ruang kelas. Raut wajah kami yang sangat bahagia dan memerah ini tidak dapat dipungkiri begitu saja.

“Eh kok kalian barengan sih masuk kelasnya?”, tegur Intan padaku dan Angga

“Iya dong kan sepasang kekasih”, ucap Angga yang membuatku malu setengah mati.

“HAH? Kalian pacaran? cieee”, tanya Intan dan Fayla seolah-olah menyudutkanku.

Tentu saja, aku tidak bisa berkata-kata, namun hatiku gembira sejadi-jadinya karena semua ini serasa mimpi dan juga bagaikan drama-drama korea yang memiliki ending bahagia. Aku menyadari bahwa sosok Evan yang selalu menghampiriku hanyalah sebagai tembok yang memisahkan aku dengan Angga. Semenjak Evan berkelahi dengan Angga di hari itu, aku benar-benar tak pernah mau melihat sosok Evan sedikitpun di hidupku.

Waktu telah berjalan begitu cepat, tidak terasa aku dan teman-teman lainnya akan lulus dari sekolah ini. Ya, sekarang aku berada di kelas 12. Aku menghabiskan 1 tahun lebih bersama kekasih hatiku, tentu saja Angga. Aku benar-benar bahagia selama dengannya, sampai kita berdua tidak menyadari bahwa setelah ini kita akan dipisahkan oleh mimpi kita masing-masing. Saat itu, aku dan Angga sedang duduk di Kantin, kita duduk saling berhadapan menatap satu sama lain.

“Salma, kamu jadi kuliah di UI?”, tanya Angga seraya mengerutkan dahi.

“Iya, Ngga. Kamu jadi ke UGM kan?”, tanyaku balik memastikannya.

“Aku gak siap sal kalau harus jauh dari kamu. Aku gak siap terbunuh rindu yang menyayat malamku nantinya”, ucap Angga dengan tatapan yang seolah-olah tidak mau melepasku.

“Angga, aku tau hatimu sedang membiru karnaku. Tapi percaya deh, Ngga. Jarak gak akan mematikan rasa”, balasku sembari menenangkannya.

Tatapan itu tetap saja melekat. Seakan kalimat penenangku pun tak mampu menenangkan hati Angga yang diliputi cemas berlebihan tentang hari esok. Angga hanya membalas dengan senyum tipis yang masih semanis seperti senyum pertama Angga kala itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, namun akankah jarak memisahkan dua hati yang saling berlabuh ini?

--

--